Pages

About my Blog

Welcome to blogger. This is your first content for welcome says for your blog. Edit or delete it, then start blogging! Go To Edit Html after that expand widget templates and find this content with search for easy find this content and if you done found content you can edit or deleted it as you want and thank's using our work / themes i very happy about this.

Rabu, 11 Juni 2014

Masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)



Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
BLBI dan Hukum yang Bungkam                           
Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat 'bertengger' dengan leluasa di atas pundi-pundi uang yang dicuri. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.
Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung atau tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para 'konglomerat hitam'. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.
Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila dikaitkan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum.
Ada dua aspek hukum yang cenderung mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam berbagai diskusi terkait dengan masalah BLBI.Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu merupakan sesuatu yang berada dalam tataran hukum keperdataan, atau apakah kasusnya kemudian dapat berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup hukum pidana. Kedua, masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah menimbulkan berbagai kontrovesri. Tulisan ini mencoba memberikan solusibagi keduanya, namun tidaklah dimaksudkan untuk membahasnya secara tuntas, melainkan hanya beberapa bagian yang dianggap relevan.
ANALISIS HUKUM KASUS BLBI
A. Kasus BLBI
BLBI telah berjalan kurang lebih selama 10 (sepuluh) tahun sejak krisis moneter tahun 1997/1998. Langkah penegakan hukum telah dilaksanakan yang mengakibatkan pengambil kebijakan pengucuran BLBI telah dijatuhi hukuman sedangkan 2 (dua) direksi lainnya di SP3-kan oleh Kejagung, dan sejumlah kecil penerima BLBI dihukum. Pemerintah telah menetapkan kebijakan hukum menggunakan penyelesaian di luar pengadilan dengan payung hukum UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan Payung Politik TAP MPR RI kemudian ditindak lanjuti dengan Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang mengesahkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU, dan SKL. Konsekuensi dari Inpres tersebut adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI (SP3) oleh kejaksaan agung namun tidak merujuk kepada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan. Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi seluruh kewajibannya) tidak memberikan hasil maksimal untuk kepentingan Negara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 6 Mei 2008 yang telah membatalkan SP3 Kejaksaan Agung yang telah dikeluarkan atas nama Kasus SYN (BDNI) tertanggal 14 Juni tahun 2004 merupakan bukti bahwa payung hukum di atas tidak memenuhi asas kepastian hukum dan belum berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Sedangkan pengembalian atas kerugian Negara tidak mencapai 10 % dari total dana BLBI yang telah disalurkan.
B. Analisis Hukum Kasus BLBI
BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank Indonesia kepada pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas yang dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh adalah untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang dipastikan akan berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi persoalannya kemudian adalah, tujuan yang baik itu ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya, bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.
Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima, pada awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan hukum keperdataan, karena para pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai kreditur dan debitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga digunakan untuk membayar kembali transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI.
Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1971 jo UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Meskipun demikian, kita tentu tidak boleh men-generalisasi semua kasus BLBI sebagai perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus yang memang terjadi semata-mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur hukum keperdataan. Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya:
1. pemberian BLBI dilakukan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya.
2. konspirasi antara oknum Bank Indonesia dengan bank penerima BLBI.
3. pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya
4. penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI
Di samping itu, studi hukum yang dilakukan Satgas BLBI telah mengidentifikasi bentuk-bentuk penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain: Penggunaan dana BLBI oleh penerima secara menyimpang, seperti digunakan untuk keperluan pembelian devisa dan memindahkan asset ke luar negeri, membawanya ke pasar uang atau digunakan untuk operasionalisasi bank, serta untuk membayar pinjaman kepada kelompok sendiri (group perusahaan penerima BLBI). Studi hukum
1. membayar atau melunasi kewajiban kepada pihak terafiliasi.
2. membayar atau melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan.
3. membiayai kontrak derivatif baru atau kerugiaan karena kontrak derivative lama jatuh tempo.
4. membiayai penempatan baru di pasar uang antar bank (PUAB), atau pelunasan kewajiban yang timbul dari transaksi PUAB.
5. membiayai ekspansi kredit atau merelasasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit yang sudah ada.
6. bentuk-bentuk penyimpangan lainnya seperti:
a. pembayaran kepada pihak ketiga yang masih mempunyai kewajiban kepada bank.
b. penarikan dana tunai dari giro bank di BI yang penggunaannya tidak jelas.
c. pelunasan kewajiban antar bank, dan sebagainya.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan modus operandi yang pada prinsipnya tidak sesuai dengan penggunaan dana BLBI yang seharusnya dilakukan. Bertolak dari adanya penyimpangan dalam berbagai bentuk dan modus operandi yang merugikan keuangan negara, maka penyelesaian terhadap kasus-kasus BLBI mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan hukum pidana.
Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI, kalangan hukum cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan. Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada dalam UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan atau ketentuan pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, sejauhmana dan dalam hal-hal apa sajakah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan dana BLBI.
Pembuat UU Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:
1. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan.
2. tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank.
3. tindak pidana perbankan di bidang pengawasan.
4. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi managemen).
5. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi.
Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan, tidak ada satu rumusanpun yang dapat digunakan untuk menjangkau pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu kasus-kasus BLBI yang mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK : Mencari Celah Tangani Kasus BLBI
Kewenangan KPK dalam menangani kasus BLBI dipertanyakan, bahkan oleh Antasari Azhar selaku mantan Ketua KPK itu sendiri. Menurut hemat penulis, dengan terungkapnya kasus penyuapan jaksa Urip dalam penanganan kasus Sjamsul Nursalim (BDNI) dapat meretas jalan bagi KPK untuk melanjutkan penanganan kasus BLBI. Memang, hal ini merupakan tugas yang tidak ringan buat KPK. Apalagi, terdapat ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tidak memberlakukan azas retroaktif dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK. Akan tetapi, kasus BLBI sudah merusak sendi-sendi keadilan dalam masyarakat sehingga sudah seharusnya jika ada “political will” yang kuat dari KPK, Presiden, Kejaksaan Agung, dan DPR untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2000 menyebutkan adanya penyimpangan penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 138,4 triliun dari total dana Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya peyelewengan penyalahgunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Mantan Gubernur Bank Indonesia, Soedrajad Djiwandono, dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Tersangka dari BI adalah para direkturnya, Hedrobudiyanto, Paul Sutopo dan Heru Soepraptomo dan masing-masing telah divonis tiga tahun, dua setengah tahun, dan tiga tahun. Dari pihak BLBI, ada beberapa debitur yang diproses secara hukum, di antaranya Sjamsul Nursalim (BDNI) yang kasusnya telah dihentikan oleh pihak Kejaksaan Agung dengan alasan tidak cukup bukti adanya perbuatan korupsi.
Meskipun penghentian penyidikan atas kasus Sjamsul Nursalim oleh Kejaksaan Agung tidak serta merta dapat diterima oleh masyarakat dan menyisakan pertanyaan besar yang belum terjawab, kita tiba-tiba dikejutkan oleh kasus jaksa Urip yang tertangkap tangan oleh KPK atas dugaan menerima suap. Hal ini tentu saja semakin memojokkan posisi Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus tersebut yang dianggap tidak tuntas dan tidak bersih.
Penulis mencermati bahwa dari awal, sebenarnya keinginan pihak Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ditanganinya patut mendapat acungan jempol. Bahkan, mantan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh pun terkesan tidak mau melepaskan penanganan kasus BLBI yang akan diambil alih oleh KPK. Hal ini terungkap dalam pemberitaan di harian Suara Karya, 10 Maret 2006 : ”Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh (Arman) berubah sikap. Dia menyatakan keberatan jika kasus-kasus korupsi yang terkatung-katung di kejaksaan diambil-alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Padahal, (Rabu, 8 Maret 2006), dia mengaku tidak bermasalah dengan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhono itu. "Kasus-kasus korupsi yang sudah ditangani kejaksaan sebaiknya tidak dialihkan ke KPK," ujar Arman kepada wartawan saat rehat rapat koordinator menteri-menteri di lingkungan Polhukam dengan tim Pemantau Kasus Poso, di Gedung DPR-RI, Jakarta.
Di lain pihak, KPK sendiri juga terlihat tidak terlalu bernafsu untuk mengambil alih penanganan kasus korupsi yang terkatung-katung di Kejaksaan Agung. Padahal, KPK sendiri sudah menegaskan akan mengambil alih kasus-kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung dan Polri bila penanganan itu berlarut-larut. Hal itu disampaikan Ketua KPK yang pada saat itu dijabat oleh Taufiqurahman Ruki seusai menandatangani Keputusan Bersama antara KPK dan Jaksa Agung tentang kerja sama dalam rangka pemberantasan dan tindakan korupsi, di Jakarta. Acara tersebut dihadiri antara lain oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, Ketua BPK Anwar Nasution, dan Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan. “KPK mempunyai tugas supervisi dan KPK akan ambil alih bila jaksa atau polisi berlarut-larut dalam menangani kasus korupsi. Memang agak susah kalau tindak pidana korupsi dengan bukti lengkap tetapi lama ditangani,” demikian kata Ruki. (Kompas, 7/12/05). Jadi, kalau MOU antara KPK dan Jaksa Agung tidak dapat memberikan dampak apa-apa dalam penanganan kasus-kasus tersebut (termasuk kasus BLBI), tentu saja harus dicari terobosan lain untuk penuntasan kasus BLBI.
 
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, R., Ketidakadilan Hukum Kasus BLBI , Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung.
Kompas, 2008, Kepercayaan Publik Dicederai Kejaksaan Agung Memalukan dan Indikasikan Perdagangan Perkara
Raharjo, A., Benang Kusut BLBI, MSAA DAN PKPS (Tinjauan Dari Sisi Viktimologis)
Raspati, L., 2007, Krisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Perbankan
Yuntho, E., 2008, BLBI dan Hukum yang Bungkam
Wakhyudi, KPK : Mencari Celah Tangani Kasus BLBI

0 komentar:

Posting Komentar